Close

Ancaman Resesi di Tengah COVID-19

Pandemi COVID-19 memberikan guncangan bagi setiap negara karena tidak hanya berdampak pada kesehatan, akan tetapi merembet pada pekerjaan, hingga kesejahteraan masyarakat. Menyebarnya wabah ini menyebabkan masyarakat harus tetap dirumah dan mengurangi aktivitas diluar sehingga terjadi penurunan pergerakan ekonomi yang signifikan. Kebijakan lockdown menurunkan penyebaran virus dan mengurangi kematian akibat virus korona, akan tetapi hal tersebut berdampak pada matinya aktivitas perekonomian di berbagai sektor. OECD menyebutkan, adanya lockdown juga berakibat pada meningkatnya kesenjangan sosial, mengubah tatanan pendidikan, hingga merusak kepercayaan akan masa depan.

Singapura sebagai negara terdekat Indonesia, telah mengumumkan perekonomian yang mengalami resesi karena pada kuartal-II ini pertumbuhan GDP turun -12,6% YoY setelah pada kuartal-I GDP juga turun sebesar -0,3%. Adanya lockdown semakin memperpanjang tertutupnya aktivitas bisnis dan berdampak pada sektor manufaktur yang jatuh hingga 23,1% QoQ, bahkan sektor konstruksi turun hingga mencapai 95,6% QoQ. Adanya lockdown juga berakibat pada matinya bisnis pariwisata Singapura yang berdampak pada turunnya pendapatan sektor jasa hingga 37,7% QoQ.

Selain Singapura, beberapa negara terancam mengalami resesi setelah pada kurtal-I telah memiliki pertumbuhan negatif, diantaranya Amerika dengan pertumbuhan pada kuartal-II sebesar -32,9% YoY, Korea Selatan -3,3% YoY, dan Jerman sebesar -10,1% YoY, dan negara-negara lainnya yang terus mengalami kontraksi. Mengutip pernyataan Worldbank, adanya COVID-19 dan upaya penanggulangannya menyebabkan guncangan pada sisi permintaan agregat sehingga berdampak pada GDP. Shock yang terjadi akibat COVID-19 diperkirakan lebih cepat menurunkan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan guncangan lainnya sejak 1990.

Kondisi ketidakpastian di masa pandemi COVID-19 memang memaksa masyarakat untuk tetap dirumah, sehingga tingkat pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi turun. Menurut Teori Keynes, ketika terjadi penurunan pengeluaran dari rumah tangga, maka agregat permintaan akan turun. Dalam siklus bisnis, sebenarnya masa ini merupakan titik kontraksi dimana terjadi penurunan pada pertumbuhan akibat adanya guncangan. Hal ini dapat dilihat dari output agregat yang turun, tekanan inflasi turun, dan berubah pada tekanan deflasi. Apabila siklus bisnis tidak kunjung membaik, yang akan terjadi adalah kontraksi semakin dalam dan mencapai titik terendah atau palung (trough). Kondisi inilah yang dikatakan sebagai masa resesi.

Resesi terjadi akibat lesunya perekonomian atau kontraksi terus menerus yang berakibat pada kegagalan sektor bisnis dan investasi. Secara mikroekonomi, atau dalam sekala kecil, resesi dapat terjadi dengan tanda penurunan margin yang terus menerus pada sebuah sektor usaha. Hal tersebut berakibat pada penurunan pendapatan sehingga perusahaan harus mengurangi beban usaha seperti menghentikan produksi yang secara langsung menyebabkan pengurangan tenaga kerja.

Secara makroekonomi, atau dalam skala yang lebih luas, adanya resesi terjadi apabila pertumbuhan GDP dalam dua kuartal berturut-turut negatif. Hal ini juga sebagai akibat dari mikroekonomi yang mana terjadi penurunan konsumsi dan investasi atau terjadi penurunan pada agregate demand sehingga bisnis mengalami penurunan pendapatan yang merambat pada meningkatnya pengangguran sebagai akibat perusahaan mengurangi beban usaha.

Secara umum, resesi lebih dapat terjadi karena faktor keuangan, faktor psikologis, dan faktor riil perekonomian yang mengarah pada kegagalan bisnis seperti pada masa saat ini.

Resesi akibat faktor keuangan sempat melanda dunia beberapa kali, seperti pada tahun 2008 akibat subprime mortgage atau gagal bayar kredit perumahan yang terjadi di Amerika. Kegagalan ini menyebabkan pasar saham global berjatuhan, turunnya angka penjualan, dan meningkatnya pengangguran di Amerika hingga ke beberapa negara Eropa.

Faktor psikologis dari investor dalam melihat perekonomian juga berkontribusi memperparah kontraksi ekonomi hingga berakibat terjadinya resesi. Sentimen positif akan membuat ekonomi berada pada puncak (peak), begitu juga sebaliknya. Pesimisme kondisi ekonomi akan mendorong perekonomian ke masa kontraksi. Psikologis investor sangat berpengaruh karena tindakan dan keputusan bisnis tertentu berasal dari pandangan dan harapan subjektif dari investor.

Faktor riil ekonomi berasal dari guncangan ekonomi seperti gangguan akibat COVID-19 saat ini yang mengganggu rantai pasokan atau supply chain dunia. Negara maju seperti Amerika, Korea Selatan, Jerman dan Singapura lebih dahulu masuk ke jurang resesi karena ketergantungan ekonomi negara pada perdagangan internasional. Adanya lockdown yang membatasi interaksi antar wilayah menjadikan perdagangan internasional tersendat sehingga arus supply chain terhenti. Akibatnya GDP negara tersebut terus mengalami kontraksi.

Penurunan atau kontraksi ekonomi yang terus terjadi tentu akan berdampak pada produktivitas ekonomi. Permintaan yang terus turun akan berdampak pada kebangkrutan bisnis usaha. Adanya resesi juga tidak hanya berdampak dalam jangka pendek, akan tetapi dalam jangka panjang. Resesi dapat terjadi dalam beberapa bulan hingga tahunan sebelum ekonomi kembali membaik. Berdasarkan National Bureau Economic Research, resesi terpanjang terjadi pada Oktober 1873 hingga Maret 1879 yaitu selama 65 bulan.

Pada masa resesi, indikator makroekonomi akan turun diiringi dengan menurunnya pasar modal. Bisnis yang tidak memiliki persiapan secara financial akan kesulitan dan berakhir pada kebangkrutan. Bila melihat pada siklus bisnis, kontraksi yang dalam dibarengi dengan kebijakan ekonomi yang efektif akan dapat memperbaiki perekonomian dan akan kembali ke fase ekspansi. Akan tetapi jika berlaku sebaliknya, ini tentu mengancam keberlangsungan perekonomian. Pengangguran akan meningkat diiringi dengan penurunan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana dengan kondisi perekonomian Indonesia?

Indonesia pada kuartal-I 2020 masih memiliki pertumbuhan yang positif sebesar 2,97% YoY turun dari sebelumnya 4,97%. Akan tetapi, prediksi kuartal-II 2020 ini Indonesia akan ikut dalam jurang resesi sebagai spillover effect (efek rambatan) dari negara-negara yang lebih dahulu terkena resesi. Adanya COVID-19 memang menurunkan daya beli masyarakat Indonesia terutama pada konsumsi pakaian. Prediksi pada kuartal-II, pertumbuhan GDP Indonesia akan kembali turun hingga mencapai -4,2% karena puncak COVID-19 terjadi pada April-Mei. Inflasi pada Juli ini bahkan tercatat hanya 1,54% dari sebelumnya 1,96% yang menandakan semakin lesunya ekonomi Indonesia dengan deflasi selama bulan Juli sebesar 0,10%.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa pada kuartal-II 2020, Foreign Direct Investment (FDI)  turun 6,9% YoY sebagai akibat dari pandemi COVID-19, sedangkan pada kuartal-I FDI telah jatuh hingga 9,2% YoY. Domestic Direct Investment (DDI), juga menunjukkan penurunan 1,4% YoY dengan total penurunan investasi sebesar 4,3% YoY menjadi Rp191,9 triliun. Disisi lain investasi berkontribusi 30% dari pertumbuhan GDP indonesia.

Baca lagi: Mengenal UMA & Suspensi Saham

Prediksi pertumbuhan negatif yang terjadi pada kuartal-II 2020, mengindikasikan terjadi kontraksi di Indonesia belum masuk ke resesi bila dilihat secara teori business cycle, terselamatkan oleh pertumbuhan kuartal-I yang masih positif. Indonesia mungkin saja memasuki masa resesi apabila pertumbuhan pada kuartal-III 2020 tetap menunjukan angka negatif. Seperti yang terjadi pada Amerika, Korea Selatan, Jerman, dan Singapura yang telah mengalami pertumbuhan negatif sejak kuartal-I. Apabila hal tersebut terjadi, ini akan menjadi resesi kedua di Indonesia setelah Krisis Keuangan Asia pada 1998.

Indonesia sendiri telah memberikan berbagai stimulus perekonomian untuk mendorong pertumbuhan dengan bauran kebijakan. Salah satunya diberikan melalui bauran kebijakan moneter seperti penurunan suku bunga, dengan harapan masyarakat akan cenderung lebih konsumtif sehingga meningkatkan gairah perekonomian. Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah mendorong ekonomi melalui insentif fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan menurunkan pajak. Pemerintah juga memperbanyak cash transfer melalui berbagai bantuan kepada masyarakat, juga pinjaman modal untuk UMKM. Pinjaman modal ini tidak hanya membantu UMKM, akan tetapi diyakini dapat mendorong sektor perbankan melalui penyaluran kredit. Pergerakkan ekonomi kemudian diserahkan kepada pasar, investor dan konsumen. Dengan berbagai stimulus ini seharusnya konsumsi masyarakat dapat meningkat dan sentimen investor akan kondisi perekonomian tetap baik.

Summary

Kontraksi ekonomi mungkin tidak dapat dihindari di berbagai negara karena ekonomi dunia yang terus bergerak melambat sebagai akibat dari COVID-19, termasuk Indonesia. Apabila stimulus yang diberikan tidak berjalan dengan baik, resesi ekonomi tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, kita dapat menghidari krisis ekonomi dalam skala besar yang dapat berakibat kebangkrutan besar-besaran pada dunia bisnis.

Sebagai investor anda harus menyiapkan strategi investasi yang tepat karena resesi mengancam sekaligus memberikan peluang.

Join Private Investing Room (PIR) untuk mendapatkan panduan lengkap investasi saham seperti rekomendasi saham-saham layak investasi, panduan akumulasi sampai dengan distribusi dan juga anda dapat berkonsultasi untuk memperbaiki kondisi portofolio yang sedang negatif atau konsultasi untuk merancang investing plan

Daftar Sekarang

Market Intelligent: Isna Fauziah
Editor: Novi DA

Social Share