Close

Emiten Ritel di dalam Bayang-bayang Ponsel Black Market

Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) menyatakan bahwa rata-rata ada 50 juta ponsel terjual setiap tahun di Indonesia, dan sekitar 20% ponsel yang beredar tersebut adalah ponsel ilegal. Perkiraan kerugian yang diakibatkan ponsel black market ini mencapai 20 triliun rupiah. Selain itu, Kementrian Keuangan (Kemenkeu) juga menderita kerugian sekitar Rp 2-3 triliun karena tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dari ponsel yang dijual secara ilegal. Untuk menekan kerugian negara, pada tanggal 17 Agustus yang lalu pemerintah berencana akan menetapkan regulasi tentang International Mobile Equipment Identity (IMEI).

IMEI merupakan kode unik yang terdapat di setiap ponsel dan berlaku secara internasional. Aturan IMEI dibuat untuk membatasi ruang gerak ponsel ilegal untuk masuk ke pasar domestik. Kebijakan ini diatur oleh Kementrian Perindustrian (Kemenperin) yang bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) serta Kementrian Perdagangan (Kemendag). Kemkominfo bertugas menyiapkan sistem DIRBS (Device Identification, Registration, and Blocking System) untuk mendeteksi perangkat dari black market. Identifikasi ini dilakukan dengan mengidentifikasi IMEI ponsel ketika ponsel telah terhubung dengan operator. Ketika IMEI tidak terdaftar, maka ponsel tidak bisa digunakan untuk melakukan komunikasi melalui operator. Namun, untuk ponsel BM (black market) yang sudah beredar sebelum ditetapkan kebijakan ini dan sudah dipasangkan dengan SIM Card dinyatakan bebas dari penonaktifan jaringan selulernya.

Ponsel BM yang berkembang di toko online mengganggu bisnis distributor ponsel resmi. Hal ini terutama dikarenakan harga jual ponsel BM lebih murah jika dibandingkan produk resmi. Dengan berlakunya regulasi IMEI, maka diyakini akan memberikan dampak positif terhadap kenaikan penjualan produk ponsel resmi.

Bagaimana nasib emiten peritel seperti PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) dan PT Tiphone Mobile Indonesia (TELE) jika IMEI diberlakukan?

Sejak beredarnya berita IMEI akan ditetapkan pada tanggal 17 Agustus, peredaran saham ERAA pada bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 66,25%. Dari awal bulan, ERAA berada di level terendah sebesar Rp 1200 dan pada akhir bulan mencapai level tertinggi Rp 1995. Namun, dikarenakan regulasi IMEI belum jadi ditetapkan, ERAA dari tanggal 19 Agustus sampai akhir bulan mengalami penurunan sebesar 19,69%.

Dengan beredarnya isu penetapan regulasi IMEI, ternyata tidak semua emiten merasakan penguatan harga saham. Selama bulan Juni, TELE mengalami penurunan sebesar 6,92% dan mencapai angka 605. Tetapi ternyata TELE terus mengalami penurunan sampai bulan September dan mencapai level terendah Rp 242. Hal ini mungkin dikarenakan fokus penjualan TELE lebih besar di voucher dan kartu perdana dengan total penjualan sebesar 74%, sedangkan untuk ponsel sebesar 26%. Jadi dampak yang dirasakan karena penetapan regulasi IMEI pada TELE tidak sebesar ERAA.

Lalu, bagaimana prospek ERAA dan TELE hingga akhir tahun 2019?

Kami akan bahas khusus untuk member Private Investing Room (PIR) dan Private Investing Room Syariah (PIRS), proyeksi ERAA dan TELE di tahun 2019.

Link: https://yefadvisor.com/proyeksi-eraa-tele/

Sumber:
detik.com
cnnindonesia.com

Penulis: Mutik Dian Prabaning Tyas
Editor: Muhammad Avicenna Jauhar Maknun

Dapatkan rekomendasi trading dan investasi dari YEF advisor dengan menjadi member
Daftar sekarang
link registrasi : yefadvisor.com/register

Social Share