Istilah Sell on May and Go Away mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian pelaku pasar saham. Istilah ini sendiri menjadi bahan perbincangan oleh para pelaku pasar saham saat memasuki bulan Mei seperti saat ini. Tentu banyak diantara pelaku pasar saham yang kemudian bertanya-tanya apakah sebaiknya menjual saham yang dimiliki saat memasuki bulan Mei ini. Untuk mengetahuinya, kita harus mengenal lebih dulu apa itu sebenarnya istilah Sell on May and Go Away dan memastikan, apakah istilah tersebut merupakan sebuah fakta yang terjadi di pasar saham atau hanya sekadar mitos belaka.
Apakah itu istilah Sell on May and Go Away?
Istilah ini pada dasarnya merupakan sebuah strategi investasi untuk menjual saham pada periode bulan Mei untuk kemudian membeli lagi pada bulan November. Kenapa hal ini dilakukan? Tujuannya adalah untuk menghindari investasi selama periode Mei-Oktober atau selama 6 bulan, karena pada periode tersebut biasanya return yang diberikan pasar saham tidak begitu baik atau bahkan minus. Sehingga, bisa dikatakan pada periode tersebut pergerakan pasar saham akan cenderung negatif.
Lalu bagaimana sejarah istilah ini bisa muncul?
Istilah ini sendiri muncul pertama kali,pada pasar saham Eropa dan Amerika, dengan faktor tradisi dan budaya kehidupan di sana yang menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui bahwa pada tradisi dan kebudayaan barat saat musim panas yang berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus, kebanyakan orang akan memilih untuk berlibur dan menikmati hasil kerjanya. Nah, untuk dapat menikmati liburan tersebut maka kebanyakan investor akan menjual sahamnya di bulan Mei agar tidak terbebani dan terpengaruh oleh berita mengenai kondisi pasar saham saat menjalani liburan dan kemudian akan mulai berinvestasi lagi pada bulan November. Hal inilah yang biasanya menyebabkan kinerja pasar saham pada periode Mei hingga Oktober mengalami penurunan.
Baca Juga: Risiko Bisnis $BBRI Di Tengah Wabah Corona
Jika dilihat berdasarkan data statistiknya dan penelitian yang telah dilakukan, maka istilah ini benar-benar terjadi di indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA). Dimana pada penelitian tersebut disebutkan bahwa indeks DJIA memiliki rata-rata tingkat kenaikan saham sebesar 10% pada bulan November-April jika dibandingkan periode Mei-Oktober.
Lalu apakah teori ini berlaku juga untuk pasar saham di Indonesia?
Selengkapnya: Fenomena Sell on May and Go Away Pada Pasar Saham di Indonesia
Eksklusif untuk seluruh member Private Room YEF
Bergabung menjadi member YEF untuk mendapatkan panduan Trading (PTR) atau Investasi (PIR/PIRS), rekomendasi, instruksi tiap hari, restruktur portofolio, dan konsultasi kapan saja.
Daftar sekarang
Link registrasi : yefadvisor.com/register
Market Intelligent: Danny Ramadhan
Editor: Avicenna JM
Graphic Designer: Hayu Winursita Linuhung