Neraca perdagangan Indonesia, pada bulan Juli ini tercatat cukup memuaskan. Neraca perdagangan mencatatkan surplus sebesar 3,26 miliar US$ setelah bulan sebelumnya hanya mencatat surplus sebesar 1,2 miliar US$, naik 2,1% YoY.
Bila kita melihat grafik bulanan pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia mulai tahun 2017, neraca perdagangan terus mengalami tekanan defisit. Pada tahun 2017 sendiri, defisit neraca perdagangan dapat dikompensasi oleh arus modal dan keuangan yang masuk ke Indonesia sebesar 29,2 miliar US$, sehingga secara tahunan Indonesia tidak mengalami defisit.
Tekanan defisit masih berlanjut pada tahun 2018. Hal tersebut terjadi karena adanya normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat, mencuatnya perang dagang AS-Cina, ditambahkan dengan kebijakan ekspansif AS sehingga berdampak pada arus modal dan keuangan Indonesia. Selain karena faktor eksternal yang menekan harga komoditas sehingga nilai ekspor rendah, defisit terjadi karena pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor Indonesia. Kondisi tersebut menandakan tingginya daya beli masyarakat.
Sepanjang 2019, kondisi defisit neraca perdagangan terus berjalan hingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar. Dihantui perang dagang, eskpor non-migas Indonesia masih menurun di awal periode 2019. Kenaikan impor juga masih cukup tinggi, sehingga defisit masih menekan perekonomian Indonesia.
Pada 2020, adanya pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan perekonomian secara global. Perdagangan internasional terhambat karena banyak negara menerapkan lockdown yang tidak mengizinkan keluar-masuknya barang dan jasa antar negara untuk menghambat penyebaran virus COVID-19. Hal ini tentu berpengaruh pada neraca perdagangan negara, terutama Indonesia.
Baca Lagi: Ancaman Resesi di Tengah COVID-19
Disisi lain, sepanjang 2020 ini Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan. Defisit hanya terjadi pada bulan Januari sebesar -636,7 juta US$ dan pada bulan April sebesar -372,1 juta US$. Meskipun begitu, pada Januari 2020, defisit neraca perdagangan turun 0,87 miliar US$ dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Impor turun 4,78% YoY menjadi 14,28 miliar US$ karena terjadi penurunan pada impor non-migas sebesar -7,85% YoY. Ekspor juga turun sebesar 3,71% YoY karena fluktuasi harga komoditas seperti baja dan nikel sehingga semakin memperparah kondisi neraca. Hal yang sama terjadi pada April 2020 yang menyebabkan kembali terjadi defisit neraca perdagangan.
Adanya pandemi COVID-19 bila dilihat secara sekilas menyebabkan surplus pada nilai perdagangan Indonesia. Sebagai negara importir atau lebih banyak mengkonsumsi dan masih kurang dalam ekspor, hal ini menjadikan kondisi pandemi COVID-19 sebagai perbaikan neraca perdagangan Indonesia. Melihat lebih dalam, surplus pada bulan Februari terjadi karena kenaikan ekspor sebesar 11% YoY menjadi 13,94 miliar US$. Kenaikan tersebut terjadi karena naiknya ekspor non-migas sebesar 14,64% YoY. Dari sisi impor, terjadi penurunan sebesar 5,11% YoY menjadi 11,60 miliar US$. Kondisi tersebut menjadikan surplus neraca perdagangan sebesar 2,34 miliar US$ dan menjadi surplus terbesar Indonesia sejak 2011.
Pada bulan Maret, Indonesia juga mencatatkan surplus sebesar 720 juta US$. Lalu bulan Mei surplus Indonesia bertumbuh menjadi 2,2 miliar US$. Juni surplus neraca perdagangan Indonesia masih bertahan sebesar 1,27 miliar US$. Pada Juli ini juga surplus neraca perdagangan meroket 3,26 miliar US$. Secara komulatif selama Januari hingga Juli, surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar 8,75 miliar US$. Hal ini menjadi pencapaian tersendiri setelah dua tahun sebelumnya Indonesia terus mengalami defisit.
Meskipun begitu, kenaikan surplus neraca perdagangan ini diiringi dengan penurunan pada sisi ekspor dan impor Indonesia. Surplus neraca perdagangan dapat tercipta karena penurunan pada sisi impor dan bukan karena kenaikan ekpor Indonesia. Kondisi ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri.
Pada Mei, peningkatan pada neraca perdagangan diiringi dengan penurunan pada sisi ekspor sebesar 28,95% YoY menjadi 10,53 miliar US$, sedangkan sisi impor jatuh sebesar 42,20% YoY menjadi 8,44 miliar US$. Ekspor turun karena beberapa negara tujuan mengalami kontraksi, sedangkan impor turun diprediksi karena adanya penurunan daya beli konsumen. Penurunan yang cukup tajam pada sisi impor menjadikan nilai ekspor lebih besar sehingga terjadi surplus.
Ekspor-Impor sempat membaik pada Juni seiring dengan naiknya surplus neraca perdagangan. Kenaikan tersebut terjadi karena adanya sentimen positif setelah pelonggaran kebijakan lockdown. Ekspor non-migas naik 3,63% YoY menjadi 11,45 miliar US$. Impor juga mengalami sedikit perbaikan menjadi 10,76 miliar US$ hanya turun -6,36% YoY. Akan tetapi, pada Juli 2020 ekspor dan impor kembali jatuh hingga mencapai -9,9% dan -32,55%. Ekspor non-migas dan migas turun sebesar -5,87% YoY dan -49,69% YoY. Secara month-to-month ekspor naik 14,33% dari Juni 2020. Sedangkan penurunan impor yang cukup tajam datang dari ekspor migas sebesar -45,19% YoY dan ekspor non-migas yang turun -30,95%. Impor dilihat secara month-to-month sendiri mengalami kenaikan sebesar 41,53%.
Penurunan tajam pada sisi impor dapat mengindikasikan adanya penurunan kembali daya beli masyarakat sehingga kita harus perhatikan bersama. Penurunan ini seiring dengan naiknya angka positif COVID-19 di Indonesia. Hal ini juga tercermin oleh turunnya inflasi Juli menjadi 1,54% dari sebelumnya 1,96%. Kondisi ini menjadi penting karena konsumsi dari masyarakat mendorong 50% pertumbuhan ekonomi terkhusus Indonesia. Dilihat secara industri dimana banyak bahan baku impor, apabila nilai impor turun secara tidak langsung mengindikasikan penurunan pergerakan sektor industri, perdagangan hingga investasi. Bila daya beli masyarakat terus menurun, perekonomian akan lambat dalam bertumbuh karena tidak ada aktivitas ekonomi di masyarakat.
Neraca perdagangan sendiri mengukur relative strength atau keuntungan komparatif pada perekonomian suatu negara. Neraca perdagangan dapat memberikan gambaran competitiveness antar negara. Selain itu, dapat memperlihatkan kondisi stabilitas politik dan ekonomi negara karena berkorelasi dengan investasi asing yang masuk ke negara. Perhitungan neraca perdagangan berasal dari selisih antara nilai ekspor dikurangi dengan nilai impor suatu negara pada periode tertentu. Negara dengan impor lebih besar atau importir, cenderung akan memiliki defisit neraca perdagangan. Sedangkan negara yang melakukan lebih banyak ekspor baik jasa maupun barang atau eksportir, akan memiliki surplus neraca perdagangan. Negara importir, perekonomiannya akan mudah tergoyah ketika ada gejolak global. Sedangkan negara eksportir cenderung akan mempengaruhi ekonomi global. Akan tetapi, negara eksportir akan rawan terguncang ketika terjadi gejolak seperti yang terjadi pada saat ini.
Summary
Surplus ataupun defisit pada neraca perdagangan tidak selalu menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara karena juga bergantung pada siklus bisnis dan indikator ekonomi lainnya. Ini akan menjadi sesuatu hal yang penting bagi investor ketika emiten bergantung pada pendapatan ekspor dan tidak mengandalkan pasar domestik. Bagi investor asing, neraca perdagangan menjadi salah satu kondisi yang diperhatikan karena mencerminkan siklus bisnis pada negara tujuan investasi.
Dengan bergabung ke layanan Private Trading Room (PTR), anda akan mendapatkan panduan dengan sistem trading terbaik secara lengkap, seperti rekomendasi, instruksi beli sampai dengan jual, dan anda juga dapat berkonsultasi terkait portofolio dan trading plan.
Daftar sekarang
Manfaatkan Promo Merdeka Private Trading Room. Dapatkan Xtramonth 2 Bulan untuk PTR periode 6 Bulan + 2 bulan
Market Intelligent: Isna Fauziah
Editor: Novi DA